Bareskrim Polri dijadwalkan akan melakukan gelar perkara terkait laporan dugaan pemalsuan ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada pekan ini. Proses tersebut dilakukan sebagai bagian dari langkah klarifikasi terhadap laporan yang telah masuk sejak beberapa waktu lalu dan menarik perhatian publik secara luas.
Langkah Bareskrim ini menjadi sorotan lantaran menyangkut kepala negara yang tengah menjabat dan memiliki implikasi serius jika ditemukan unsur pidana. Namun demikian, Polri menegaskan bahwa proses hukum akan tetap berjalan secara profesional, objektif, dan sesuai dengan prinsip praduga tak bersalah.
Laporan dan Kronologi Awal
Laporan dugaan pemalsuan ijazah Presiden Jokowi pertama kali mencuat ke publik saat seorang warga negara, Bambang Tri Mulyono, yang dikenal sebagai penulis dan aktivis, melaporkan dugaan tersebut ke Bareskrim Polri. Dalam laporannya, ia menyebut adanya ketidaksesuaian dokumen akademik yang digunakan Presiden Jokowi, khususnya ijazah dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang selama ini dikenal sebagai almamater kepala negara.
Bambang mendasarkan laporannya pada sejumlah dokumen yang diklaim sebagai bukti pendukung, termasuk perbandingan tanda tangan, stempel, dan struktur administrasi kampus pada masa tersebut. Ia menilai ada kejanggalan yang perlu ditelusuri lebih lanjut oleh aparat penegak hukum.
Polri pun menerima laporan tersebut dan menindaklanjutinya sesuai prosedur yang berlaku. Sebagai langkah awal, Bareskrim melakukan pemeriksaan terhadap pelapor, mengumpulkan dokumen pendukung, serta meminta keterangan dari sejumlah pihak terkait.
Gelar Perkara Dijadwalkan Pekan Ini
Kepala Divisi Humas Polri, Irjen. Sandi Nugroho, dalam keterangannya kepada media menyatakan bahwa gelar perkara akan dilaksanakan dalam waktu dekat. “Gelar perkara dijadwalkan pekan ini. Tim penyidik akan mempresentasikan seluruh hasil penyelidikan awal untuk menentukan apakah kasus ini dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan,” ujar Sandi.
Gelar perkara merupakan tahapan penting dalam proses penegakan hukum. Pada tahapan ini, penyidik akan memaparkan hasil pemeriksaan awal, mengevaluasi bukti-bukti yang ada, dan menentukan apakah unsur pidana telah terpenuhi sehingga kasus dapat dilanjutkan ke tahap penyidikan.
Irjen. Sandi menekankan bahwa Polri akan bertindak secara profesional dan tidak terpengaruh oleh tekanan politik ataupun opini publik. “Kami akan menangani perkara ini secara netral, independen, dan berbasis pada hukum. Semua warga negara diperlakukan sama di depan hukum,” tegasnya.
Klarifikasi dari Pihak Istana dan UGM
Menanggapi isu yang berkembang, pihak Istana melalui Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, membantah tegas tuduhan tersebut. Ia menyatakan bahwa Presiden Jokowi adalah lulusan sah UGM tahun 1985 dari Fakultas Kehutanan, dan seluruh dokumen pendukung telah terverifikasi secara resmi.
UGM sendiri turut angkat bicara. Melalui Kepala Biro Humas dan Protokol UGM, pihak kampus menegaskan bahwa Jokowi memang pernah terdaftar sebagai mahasiswa aktif dan menyelesaikan studinya sesuai dengan ketentuan akademik. “Kami memiliki dokumen arsip yang membuktikan bahwa Presiden Joko Widodo adalah alumni resmi UGM. Tuduhan tersebut tidak berdasar dan telah dibantah dengan bukti yang valid,” ujar perwakilan UGM.
Reaksi Publik dan Pengamat Hukum
Kasus ini memicu respons beragam dari masyarakat. Di media sosial, muncul berbagai opini—dari yang mendukung transparansi proses hukum hingga yang menganggap laporan tersebut sebagai upaya politisasi menjelang masa akhir jabatan Presiden Jokowi.
Sejumlah pengamat hukum menilai bahwa Polri wajib menindaklanjuti setiap laporan yang masuk sebagai bentuk akuntabilitas institusi. Namun demikian, mereka juga mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam menangani kasus yang sensitif dan menyangkut simbol negara.
“Langkah gelar perkara adalah mekanisme yang wajar dalam proses hukum. Tapi perlu diingat bahwa tuduhan terhadap kepala negara harus didukung dengan bukti yang kuat. Jika tidak, maka ini bisa masuk ranah pencemaran nama baik atau laporan palsu,” ujar pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Prof. Dr. Abdul Fickar Hadjar.
Potensi Implikasi Hukum
Jika hasil gelar perkara menunjukkan adanya indikasi pemalsuan dokumen, maka kasus ini bisa masuk ke tahap penyidikan, yang berarti penyidik akan mulai mencari tersangka dan melakukan pemanggilan lebih luas. Namun jika tidak ditemukan unsur pidana, maka kasus akan dihentikan melalui surat perintah penghentian penyelidikan (SP3).
Namun, bila tuduhan terbukti tidak berdasar, pelapor dapat dikenai sanksi hukum atas laporan palsu sesuai Pasal 220 KUHP yang mengatur tentang pelaporan palsu kepada aparat penegak hukum.
Kesimpulan
Gelar perkara oleh Bareskrim Polri terkait dugaan pemalsuan ijazah Presiden Jokowi pekan ini menjadi babak penting dalam proses klarifikasi atas laporan yang kontroversial. Meski banyak pihak menilai tuduhan ini tidak berdasar, langkah hukum tetap harus dilakukan untuk memastikan kepastian hukum dan menjaga kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.
Apapun hasilnya nanti, proses ini akan menjadi preseden penting dalam penanganan laporan terhadap pejabat tinggi negara dan menunjukkan komitmen Polri terhadap asas keadilan serta transparansi hukum di Indonesia.